Rabu, 18 Februari 2009

BIO TEKNOLOGI DAN KESEHATAN HEWAN

BIOTEKNOLOGI DAN KESEHATAN HEWAN

Diagnosis Penyakit

Keberhasilan pengendalian suatu penyakit sangat tergantung dari ketepatan suatu diagnose penyebab-penyebab penyakit. Ketepatan suatu diagnose secara laboratories cenderung mengalami kemajuan akibat pengunaan bioteknologi. Perkembangan yang paling luar biasa dalam diagnose penyakit dari hasil bioteknologi tersebut adalah ditemukannya cara untuk memproduksi antibodi spesifik melalui hibridisasi sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi suatu antigen (penyebab penyakit) dengan spesifitas dan afinitas yang tinggi. Contoh hasil teknologi hibridisasi antibodi tersebut adalah produksi antibodi monoklonal (monoclonal antibodies/mab) (Kenneth et al 1980). Teknologi mab tersebut ternyata mampu mengungkapkan kegaglan suatu vaksinasi (misalnya pada penyakit Rabies), karena melalui mab dapat diketahui apakah vaksin yang ada tersebut sesuai dengan virus yang sedang menyebabkan suatu wabah (Wiktor and Koprowski 1980). Pada dasarnya teknologi mab termasuk katagori teknologi yang sederhana, sehingga peluang aplikasinya bagi negara-negara berkembang sangat mungkin. Pada tataran komersial, mab tersedia dalam bentuk kit dan reagent yang mudah aplikasinya meskipun digunakan di lapangan (Ferris et al 1988). Sebagai contoh, untuk mendiagnose penyakit Rinderpest di Afrika hampir selalui menggunakan kits.

Bioteknolgi juga memungkinkan untuk meningkatkan antigenesitas suatu antigen melalui teknologi recombinant DNA, sehingga aplikasi enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) mampu membedakan apakah suatu respon imun yang ada pada suatu hewan itu hasil kegiatan vaksinasi atau akibat suatu infeksi (Robinson and McEvoy, 1993). Pada dasarmya antibodi ada didlam darah dalam periode waktu yang lama, sehingga keberadaan suatu antibodi tidak serta merta menggambarkan adanya suatu infeksi. Teknologi ILRAD mampu membedakan antibodi yang demikian tersebut, khususnya pada penyakit Trypanosoma. Deteksi keberadaan suatu antigen dengan menggunakan mab dapat mudah dilakukan setelah ada reaksi antigen-antibodi spesifik (dalam jumlah kecil sekalipun) yang dibantu enzim sebagai penanda adanya reaksi antigen-antibodi tersebut. Reaksi ini dapat memastikan terjadinya suatu infeksi ataupun menelusuri spesies trypanosoma yang dominan dalam menyebabkan suatu penyakit (Nantulya and Lindqvist 1989). Teknologi sangat bermanfaat dalam pengendalian penyakit , khususnya untuk membedakan spesies parasit yang memberikan perbedaan epidemiologi dan ruang lingkup penyakit yang terjadi. Perkembangan lebih mendalam dibidang PCR dapat meningkatkan sensitivitas test deteksi DNA. Sebagai contoh, penggunaan PCR yang dikombinasikan dengan analisa hibridisasi menghasilkan suatu pengujian diagnosa yang sensitif terhadap penyakit bovine leukosis virus (Brandon et al 1991).

Teknik bioteknologi molekuler lasinnya adalah pada teknik diagnosis nucleic acid hybridisation (NAD) dan restriction endonuclease mapping (REM). Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa salah satu kelebihan teknik-teknik diagnose ini adalah terletak pada spesifitas dan sensitivitasnya. Sebagai contoh yang paling baik untuk menunjukkan hal ini adalah dalam membedakan infeksi yang disebabkan oleh peste des petite ruminants (PPR) virus terhadap rinderpest, dimana kedua penyakit ini menunjukkan gejala klinis yang sama dan secara serologis menghasilkan kesamaan pengujian (Lefevre and Diallo 1990). Teknologi tersebut diatas ternaya mampu membedakan, malahan dengan menggunakan REM sangat memungkinkan membandingkan perbedaan-perbedaan spesifies penyebab penyakit dilokasi geographi yang berbeda. Informasi lengkap tentang penggunaan bioteknologi untuk keperluan diagnosis dapat dibaca pada Bourne and Bostock (1992) dan Robinson and McEvoy (1993).

Teknik diagnose lain juga telah dapat digunakan untuk penyakit pada rumisnansia kecil dan atau sapi, termasuk didalamnya teknologi nucleic acid probes (NAP) untuk penyakit heartwater (Cowdria ruminantium), chlamydia psitacci, Paratuberculosis and Bluetongue (Blancou 1990; Knowles and Gorham 1990); restriction endonuclease reaction (RENR) untuk mendiagnose Corynebacterium pseudotuberculosis (Knowles and Gorham 1990); PCR untuk mengkarekterisasi subtipe penyakit Bluetongue dari berbagai wilayah yang berbeda (Osburn 1991); monoclonal antibodies (MAB) untuk membedakan false positive anti-Brucella titres yang disebabkan oleh Yersinia enterocolitica dan true positive anti-Brucella titres pada hewan yang ternfeksi laten (kronis) (Haas et al 1990); dandMAB untuk mendiagnose Toxoplamosis, Pasteurellosis, Mycoplasma spp, PPR dan Boder Disease (Blancou 1990; Lefevre and Diallo 1990). Contoh-contoh test diagnosis untuk penyakit-penyakit hewan didaerah tropikal disajikan pada Tabel berikut. Teale (1991) menjelaskan bahwa teknik diagnose melalui pendekatan bioteknologi sudah banyak yang tersedia atau sedang dikembangkan untuk kegiatan-kegiatan dimasa mendatan.

Table 1. Penyakit-penyakit Tropikal dimana probes dan monoclonal antibodies (MAB) yang telah tersedia

Viral diseases

Bacterial diseases

Rinderpest

Cowdriosis

Peste des petite ruminants

Contagious bovine pleuropneumonia

Bluetongue

Contagious agalactia

African horse sickness

Contagious caprine pleuropneumonia

Foot-and-mouth disease

Anaplasmosis (A. centrale and A. marginale)

Vesicular stomatitis

Haemorrhagic septicemia (only MAB available)

Source: Lefevre (1992).

Vaksinasi

Cara konvensional dalam mengendalikan suatu penyakit biasanya dilakukan dengan menggunakan kemoterapi, pengendalian vektor, vaksinasi, pemusnahan hewan yang terinfeksi, dan penatalaksanaan lainnya (termasuk didalamnya teknik pengembalaan dan pengaturan jumlah dan rentangan umur ternak yang dipelihara). Pengendalian vektor memerlukan penggunaan sediaan kimia yang berkelanjutan, sehingga hal ini dianggap membebani biaya pemeliharaan, khususnya ternak-ternak dinegara berkembang. Demikian halnya dengan penggunaan obat-obatan (kemoterapi) dan desinfektan cenderung menimbulkan resistensi yang malahan diatasi dengan peningkatan dosis penggunaan bahan-bahan tersebut. Disisi lain, seringkali obat-obat tersebut tidak terjangkau oleh peternak, atau kalaupun ada yang terjangkau menjadi sudah tidak efektif akibat pemalsuan ataupun terlewati masa penggunaannya (kedalu warsa).

Imunisasi merupakan cara yang paling ekonomis dalam mengendalikan penyebab suatu penyakit yang spesifik. Suatu vaksinasi yang efektif akan menggunakan dosis yang kecil dan menghasilkan suatu kekebalan efektif yang bertahan lama, meskipun vaksinasi menuntut suatu infrastuktur dan logistik pada tataran level yang memenuhi persyaratan pada skala usaha kecil sekalipun. Teknologi pembuatan vaksin konvensional dapat dilakukan dengan beberapa metode, beberapa diantaranya menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan atau cenderung dikatakan statis dalam kajian efficacy, safety, stability dan pembiayaannya. Vaksin yang boleh dikatakan sangat efektif untuk mencegah penyakit seperti rinderpest dan kolera babi telah digunakan lebih dari 20 tahun dan secara signifikan telah membantu mengurangi kejadian penyakit tersebut diseluruh dunia. Namun demikian efikasi suatu vaksin seringkali dipertanyakan. Hal penting lainnya yang masih merupakan tanda tanya besar adalah permasalahan instability, efek samping suatu vaksin, dan proses lanjut dari organisme penyebab suatu penyakit yang dilemahkan tersebut. Perihal diatas mendasari perkembangan riset yang mengarah pada kondisi yang lebih baik, lebih murah, dan lebih aman terus berkembang dan menjadi perhatian semua pihak. Melalui penggunaan MAB dan teknologi rekombinan DNA, saat ini telah dapat ditentukan dan bahkan dapat diproduksi komponen imunogenik (sebagai komponen vaksin) dengan lebih cepat. Teknologi ini makin mendudukkan perlunya pemahaman mekanisme patogen dalam menyebabkan penyakit dan sistem respon imun (Wray and Woodward 1990; McCullough 1993). Teknologi dan pemahaman tersebut akan mendorong produksi vaksin yang lebih efektif dimasa depan. Saat ini beberapa kandidat faktor antigenik telah diproduksi dengan teknologi diatas, namun demikian masih sedikit yang diaplikasikan diatataran komersial.

Tabel berikut memberikan gambaran beberapa vaksin yang dikembangkan melalui teknologi recombinant DNA. Beberapa jenis vaksin lain juga masih dieteliti. Berikut adalah jenis-jenis vaksin yang dapat dimanfaatkan untuk ruminan kecil : vaksin rekombinan untuk penyakit Bluetongue dan Rift Valley Fever akan segera beredar untuk digunakan dilapangan (Osburn 1991); vaksin dari hibrida virus untuk penyakit Orf (Reid 1989), vaksin rekombinan yang stabil terhadap panas untuk penyakit PPR (Lefevre and Diallo 1990) dan vaksin rekombinan untuk penyakit Taenia ovis dan Echinococcus (Blancou 1990); antigen caplak dan Haemonchus yang diproduksi melalui teknologi molekuler untuk mencegah parasit-parasit tersebut. Perkembangan penelitian juga dihasilkan menghasilkan vaksin melawan Babesiosis dan Theileriosis pada sapi (Wright 1990) yang dimungkinkan dapat pula digunakan untuk pencegahan pada kambing dan domba.

Table 2. Contoh-contoh Vaksin Hewan yang memiliki prospek baik

Species

Disease

Producer

Avian

Coccidiosis,

Genex and A.H. Robins

Newcastle virus

Codon and Salsbury labs

Bovine

Papilloma virus

Molecular genetics

Viral diarrhoea

California Biotechnology

Brucellosis

Ribi ImmunoChem

Rinderpest

USDA and University of California, Davis

Swine

Parvovirus

Applied Biotechnology

Dysentery

Codon

Equine

Influenza, Herpes

California Biotechnology


Applied Biotechnology

Companion

Canine parvovirus

Applied Biotechnology

Sources: Van Brunt (1987); Cunningham (1990).

Fisiologi Laktasi dan Pertumbuhan

Recombinant bovine somatotropin (BST) merupakan hormon sintesis hasil rekayasa genetik yang memiliki analogi dengan fungsi hormon pertumbuhan (Bauman et al 1985). Sejak tahun 1970-an telah dilakukan berbagai penelitian tentang efek BST terhadap susu, performa reproduksi dan kesehatan terhadap konsumen susu dari sapi yang mendapatkan BST. Pada manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang baik, ternyata pemberian BST yang teratur pada sapi-sapi yang laktasi dapat meningkatkan produksi susu 15-30% disamping meningkatkan efisiensi dari produksi susu. BST saat ini tersedia dan digunakan secara komersial di USA. Namun demikian, akibat produksi susu di USA sudah melebihi permintaan, maka penggunaan BST tersebut menjadi kurang mendapatkan perhatian disamping ada keraguan publik terhadap dampak kesehatannya untuk mengkonsumsi susu sapi yang mendapatkan BST. Surplus produksi di USA cenderung memilih teknologi yang dapat menekan biaya produksi pada peternakan skala besar, meskipun berdampak pada hancurnya daya saing peternak kecil. Dinegara berkembang, penggunaan BST masih menjadi perdebatan, karena penggunaan BST dapat meningkatkan produksi nasional dan akan mempengaruhi stabilitas harga.

Pendapat berbeda tentang penggunaan BST pada sapi laktasi menunjukkan bahwa penggunaan BST tidak berdampak jika diberikan pada bukan sapi perah atau pada sapi persilangan akan hanya berdampak pada peningkatan konsumsi pakan. Sebagaimana diketahui bahwa pakan merupakan faktor pembatas sapi-sapi di negara berkembang.

Penggunaan BST terhadap dampaknya pada performa reproduksi masih merupakan bahan kajian, meskipun telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan BST tidak memberikan efek yang signifikan terhadap performa reproduksi. Penelitian-penelitian tersebut kurang diyakini kebemnarannya, karena kebanyakan penelitian dilakukan pada satu periode laktasi dan bukan pada sepanjang perjalanan hidup atau masa produktif sapi. Penelitian yang dilakukan oleh McBride et al (1990) dan Phipps et al (1990) menunjukkan bahwa efisiensi pakan cenderung menurun pada laktasi berikutnya, bahkan hasil penelitian Phipps et al (1990) menunjukkan penurunan produksi pada laktasi berikutnya.

KULTUR SEL HEWAN

Kultur sel hewan merupakan penumbuhan sel-sel asal hewan yang didapat dari bagian tubuh hewan. Teknik kultur sel hewan secara in vitro pertama kali dilakukan pada awal tahun 1900-an dengan menggunakan potongan jaringan katak yang ditumbuhkan diluar tubuh katak tersebut. Pengertian kultur jaringan itu sendiri, saat ini, mencakup pula pengertian kultur sel maupun kultur organ.

Saat ini, kultur sel hewan telah digunakan secara komersial dan banyak digunakan didalam penelitian-penelitian dibidang medis dalam upaya menghasilkan suatu produk ataupun memfasilitasi kebutuhan pekerjaan penelitian. Dari sudut pandang industri biotek, sistem sel hewan ini menarik untuk digunakan dalam menghasilkan vaksin atau bahan-bahan pengobatan yang semestinya hanya dihasilkan oleh tubuh hewan. Sebagian besar bahan kimiawi yang sangat berharga yang dihasilkan oleh sel hewan adalah protein. Pada beberapa kasus, sel kultur hewan dapat menggantikan cadaver sebagai sumber untuk memproduksi hormon manusia, enzim-enzim dan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk keperluan medical treatment.

Produk lain dari kultur sel hewan adalah antibodi monoklonal yang disintesa melalui fused atau hybridised cells. Teknologi hybridoma telah merubah keseluruhan bidang imunologi; antibodi monoklonal menjadi sangat berguna didalam penelitian kedokteran pada bidang-bidang kajian penyebab infeksi, kanker, transplantasi organ, maupun penyakit-penyakit akibat tidak normalnya sistem kekebalan tubuh.

Pengembangan teknik-teknik khusus kultur jaringan pada skala laboratorium menjadi sangat penting dalam upaya merealisasikan pemanfaatan hasil suatu penelitian dalam skala industri.